MINAPOLITAN TELUK KOTANIA KABUPATEN SERAM BAGIAN BARAT
 PROVINSI MALUKU

Dody Yunianto dan Umar Rifai 

I. PENDAHULUAN
Perairan atau yang kita kenal sebagai laut selalu mengalami degradasi lingkungan dari waktu ke waktu. Dalam pandangan masyarakat umum, perairan merupakan saluran dan tempat akhir dari segala buangan sisa-sisa hasil produksi di darat. Walupun tidak semuanya memiliki pemikiran demikian, namun banyak dari kita yang secara sadar maupun tidak melakukan hal demikian. Perkembangan kota, pertambahan penduduk, pembangunan tempat tinggal dan industri baik skala kecil maupun besar merupakan masalah-masalah yang secara langsung mempunyai dampak yang sangat signifikan terhadap perubahan lingkungan perairan. Pembuangan limbah baik padat maupun cair melalui sungai akan berakhir di laut. Demikian juga dampak dari erosi di hulu sungai.
Topografi pulau yang lebih didominasi dataran tinggi lebih banyak menyumbang masukan dari darat (run-off) yang besar terutama pada saat terjadi hujan daripada pulau yang didominasi dataran rendah. Adanya sungai-sungai besar dan kecil dapat menjadi media yang baik dalam pembuangan limbah darat ke perairan terutama sekali di daerah teluk.
Propinsi Maluku sebagai kawasan yang memiliki perairan yang luas, dominasi dataran tinggi dan pulau-pulau kecil yang banyak tersebar di seluruh perairan memerlukan manajemen dan pengelolaan yang berkelanjutan. Banyak sekali pihak yang mempergunakan perairan di kawasan ini sebagai tempat usaha dan perekonomian untuk bertahan hidup sebagai tempat penangkapan ikan, transportasi, budidaya perikanan serta yang lainnya. Mengingat dampak perubahan lingkungan perairan yang sangat rentan, maka pengawasan dan pengelolaan terhadap perairan perlu dilakukan secara berkelanjutan. Banyak sudah langkah-langkah penanganan dan preventif yang sudah dilakukan pemerintah, baik di daerah maupun di pusat. Salah satunya adalah ditetapkannya kawasan Minapolitan di wilayah provinsi Maluku oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia yaitu Kabupaten Seram Bagian Barat.
Kabupaten Seram Bagian Barat merupakan wilayah kepulauan dengan luas wilayah 79.005 Km2 yang terdiri dari luas daratan sebesar 5.176 Km2 (6,15%) dan lautan seluas 84.181 km2 (93,85%) serta panjang garis pantai 719,20 Km2 dengan jumlah pulau sebanyak 57 buah pulau dan 89 Desa dengan 130 Dusun di Kabupaten Seram Bagian Barat terletak pada daerah pesisir atau merupakan desa pantai sehingga aktifitas pada wilayah pesisir cenderung lebih tinggi, karena masyarakat pesisir mempunyai mata pencaharian sebagai nelayan.
Keberadaan sumberdaya Kelautan dan Perikanan Kabupaten Seram Bagian Barat yang demikian besarnya adalah merupakan peluang bagi sumber daya pendapatan daerah serta wahana untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun demikian, permasalahan dan kendala yang dihadapi cukup besar dan tidak mudah untuk diatasi.
Wilayah Teluk Kotania terdiri atas 4 kategori ekosistem, yaitu laut, perairan dangkal (padang lamun, terumbu karang, gosong pasir), hutan bakau, dan hutan daratan tinggi. Wilayah perairan Teluk Kotania berhubungan dengan beberapa sungai yang bermuara ke teluk diantaranya adalah:
1.     Wai Passa
2.     Wai Kolometen
3.     Wai Patola
Sungai-sungai ini menjadi tempat beraktivitas penduduk setempat baik untuk kegiatan rumah tangga maupun industri.
Aktifitas budidaya di wilayah Kawasan Teluk Kotania ini cukup berkembang dengan pesat terutama budidaya Rumput Laut dan Kerapu. Kondisi lingkungan air menjadi faktor yang sangat menentukan keberhasilan usaha tersebut karena air merupakan media untuk pemeliharan rumput laut dan kerapu. Kondisi lingkungan teluk ini lama kelamamaan akan mengalami tekanan ekologi akibat pencemaran yang ditimbulkan oleh kegiatan industri, pertanian, rumah tangga dan kegiatan dari budidaya itu sendiri. Untuk melihat kondisi lingkungan dan dampak yang ditimbulkan maka dilakukan monitoring pengawasan di kawasan Minapolitan teluk Kotania, Kabupaten Seram Bagian Barat.
Tujuan dari kegiatan monitoring pengawasan ini adalah memantau kondisi perairan yang berdampak pada komoditas budidaya laut di wilayah Kabupaten Seram Bagian Barat terutama di kawasan budidaya perikanan laut sekitar Teluk Dusun Kotania dan Dusun Wael sebagai salah satu wilayah di Propinsi Maluku yang ditetapkan untuk kawasan minapolitan.

II. MATERIAL DAN METODE
2.1. Waktu dan Tempat
Monitoring pengawasan  ini dilakukan di wilayah kawasan Minapolitan Teluk Kotania Kecamatan Seram Barat Kabupaten Seram Bagian Barat Provinsi Maluku dengan mengukur kondisi lingkungan perairan Teluk Kotania dibeberapa titik diantaranya beberapa sungai yang bermuara ke teluk diantaranya Sungai Wai Passa, Sungai Kolometan dan Sungai Wai Patola disamping itu juga dilakukan pengukuran pada titik wilayah pembudidaya kerapu dan rumput laut di Pulau Buntal, Desa Masika Jaya dan Dusun Wael . Waktu pelaksanaan survey ini dilaksanakan pada tanggal 26 – 29 Maret 2012.
2.2. Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan selama pengawasan ini yaitu ; Motor, Speed Boat, Perahu, Alat ukur kualitas air ( Secci disk, YSI-85, pH meter,  Aguades dan Thermometer), Kuisener, Kamera dan  Alat tulis menulis.
2.3. Metode
1.       Observasi dengan cara melihat langsung kondisi penyakit dan lingkungan pada unit usaha pembudidaya kerapu yang dikunjungi
2.       Wawancara untuk mengambil data primer dengan cara menanyai responden  (pembudidaya) secara langsung di lapangan.
3.       Pengambilan data sekunder melalui sumber dari dinas perikanan setempat dan studi literatur.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Data Monitoring
Kegiatan monitoring dilakukan di wilayah perairan Teluk Kotania meliputi Dusun Kotania, Dusun Wael sampai ke Pulau Osi dan Stasiun Masika Jaya. Secara umum diperoleh informasi dari pembudidaya bahwa untuk komoditas budidaya ikan laut terutama ikan kerapu (meliputi kerapu bebek, kerapu macan, kerapu sunu, kerapu lumpur) dan bubara/kuwe tidak ditemukan adanya kasus penyakit yang serius selama triwulan pertama tahun 2012 ini. Sedangkan untuk komoditas rumput laut di wilayah perairan Dusun Kotania dan Dusun Wael mulai mengalami kematian sejak dari akhir tahun 2011 terutama setelah terjadinya hujan. Sehingga saat ini kegiatan budidaya rumput laut dengan tujuan untuk bibit terhenti. Berdasarkan informasi dari pengalaman pembudidaya bahwa sekitar bulan Februari sampai April mereka memang biasanya hanya menyiapkan bibit untuk memasuki musim tanam dan panen bulan Mei sampai Oktober. Akan tetapi untuk saat ini semua bibit mengalami kematian sehingga di lapangan tidak ditemukan contoh untuk diperiksa lebih lanjut. Untuk itu dilakukan pengukuran kualitas air pada wilayah tersebut dengan parameter suhu, salinitas, pH dan oksigen terlarut (dissolved oxygen). Data pengamatan dapat dilihat pada tabel 1.
Dari tabel 1 dapat dilihat (pengukuran dilakukan saat siang hari dengan kondisi cuaca cerah) bahwa pada muara-muara sungai yang mengarah ke teluk di wilayah Dusun Kotania dan Dusun Wael pada tanggal pengukuran tersebut diketahui mempunyai kadar oksigen terlarut di bawah standar. Di muara Wai Patola kisaran oksigen terlarut adalah 0,71-1,81 mg/l pada kedalaman 1 meter. Di muara Wai Passa kadar oksigen terlarut sedikit lebih tinggi yaitu 3,43 mg/l pada kedalaman 1 meter. Sedangkan di muara Wai Kolometen pada kedalaman 1 meter kadar oksigen terlarutnya 4,88 mg/l. Wai Passa merupakan sungai yang paling besar dan dalam di antara sungai-sungai yang lain. Secara pengamatan dapat terlihat bahwa di muara Wai Patola yang memiliki kedalaman kurang dari 2 meter kadar oksigen terlarutnya paling rendah. Rendahnya kadar oksigen terlarut di muara Wai Patola diduga akibat adanya dekomposisi bahan organik yang terakumulasi atau mengendap di muara oleh mikroba pengurai.
Dari pengamatan juga terlihat bahwa nilai kecerahan kurang dari 15 cm sedangkan muara lain memiliki kecerahan kurang dari 50 cm. Rendahnya kecerahan di muara Wai Patola terlihat akibat adanya padatan tersuspensi yang berpeluang terbawa ke teluk saat hujan tiba karena topografi Seram Bagian Barat yang didominasi dataran tinggi. Ini akan membuat perairan teluk menjadi keruh dan intensitas cahaya matahari yang masuk ke perairan menjadi rendah. Hal ini dapat menghambat berlangsungnya fotosintesis sehingga dapat memperlambat metabolisme sel rumput laut dan memperlambat pertumbuhan. Namun ini memerlukan kajian lebih lanjut tentang pola arus di teluk demikian juga untuk kandungan padatan tersuspensi di muara Wai Patola. Untuk kecerahan di kawasan teluk sendiri pada pengukuran saat cuaca cerah lebih dari 5 meter demikian juga di sekitar Pulau Osi. Hasil pengukuran di sekitar tempat budidaya rumput laut yang hanya menyisakan tali dan pelampung, kadar oksigen terlarut berkisar 5,10-5,75 mg/l. Sedangkan di sekitar Pulau Osi yang masih terdapat budidaya rumput lautnya untuk parameter oksigen terlarut adalah 8,32 mg/l.
Rumput laut juga merupakan organisme laut yang membutuhkan oksigen untuk proses respirasi saat malam hari. Karena itu kadar oksigen terlarut terendah akan dapat ditemui pada saat menjelang pagi hari. Sedangkan kadar oksigen terlarut tertinggi akan ditemui menjelang sore hari yaitu sumbangan oksigen yang dihasilkan dari proses fotosintesis organisme termasuk rumput laut. Jika pada siang hari kadar oksigen terlarut rendah maka pada malam hari kadar oksigen akan mendekati titik nol, akibatnya hanya sedikit sekali organisme yang bisa bertahan pada kondisi demikian.
Salinitas untuk di muara dan kawasan teluk tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan karena saat pengukuran cuaca cerah dan kondisi laut mulai pasang pada sekitar pukul 11 WIT yaitu di kisaran 29,30-33,1 ppt.
pH dari hasil pengukuran juga masih berada dalam kisaran normal 6,98-8,45. Parameter suhu yang cukup tinggi (30,10-33,200C) diduga dari adanya pengaruh La Nina lemah pada bulan Maret-April 2012 dimana suhu muka laut untuk perairan Pulau Seram sampai Maluku Utara lebih dari 290C (http://www.bmkg.go.id/BMKG_Pusat/Klimatologi/Dinamika_Atmosfir.bmkg).
 Berikut adalah parameter kualitas air yang sesuai untuk budidaya rumput laut:
1.                   Arus
Rumput laut merupakan organisme yang memperoleh makanan melalui aliran air yang melewatinya. Gerakan air yang cukup akan menghindari terkumpulnya kotoran pada thallus, membantu sirkulasi oksigen, dan mencegah adanya fluktuasi yang besar terhadap salinitas maupun suhu air. Suhu yang baik untuk pertumbuhan rumput laut berkisar 20-280C. Arus dapat disebabkan oleh arus pasang surut. Besarnya kecepatan arus yang baik antara : 20-40 cm/detik. Indikator suatu lokasi yang memiliki arus yang baik biasanya ditumbuhi karang lunak dan padang lamun yang bersih dari kotoran dan miring ke satu arah.
2.                   Kondisi dasar perairan
Perairan yang mempunyai dasar pecahan-pecahan karang dan pasir kasar, dipandang baik untuk budidaya rumput laut Eucheuma cottonii. Kondisi dasar perairan yang demikian merupakan petunjuk adanya gerakan air yang baik, sedangkan bila dasar perairan yang terdiri dari karang yang keras, menunjukkan dasar itu terkena gelombang yang besar dan bila dasar perairan terdiri dari lumpur, menunjukkan gerakan air yang kurang.
3.                   Kedalaman air
Kedalaman perairan yang baik untuk budidaya rumput laut adalah 30-60 cm pada waktu surut terendah untuk (lokasi yang berarus kencang) metode lepas dasar, dan 2-15 m untuk metode rakit apung, metode rawai (longline) dan sistem jalur. Kondisi ini untuk menghindari rumput laut mengalami kekeringan  dan mengoptimalkan perolehan sinar matahari.
4.                   Salinitas
Rumput laut adalah jenis alga laut yang bersifat stenohaline, relatif tidak tahan terhadap perbedaan salinitas yang tinggi. Salinitas yang baik berkisar antara 28-35 ppt dengan nilai optimum adalah 33 ppt. Untuk memperoleh perairan dengan salinitas demikian perlu dihindari lokasi yang berdekatan dengan muara sungai.
5.                   Kecerahan
Rumput laut memerlukan cahaya matahari sebagai sumber energi guna pembentukan bahan organik yang diperlukan bagi pertumbuhan dan perkembangannya yang normal. Kecerahan perairan yang ideal lebih dari 1 meter. Air yang keruh biasanya mengandung lumpur yang dapat menghalangi tembusnya cahaya matahari di dalam air, sehingga kotoran dapat menutupi permukaan thallus, yang akan mengganggu pertumbuhannya.
6.                   Pencemaran
Lokasi yang telah tercemar oleh limbah rumah tangga, industri, maupun limbah kapal laut harus dihindari

3.2. Permasalahan
Beberapa kendala dan permasalahan yang ditemukan saat kegiatan monitoring di Dusun Kotania dan Dusun Wael antara lain:
1.                  Penurunan kualitas perairan di Teluk Kotania dan Dusun Wael akibat tekanan ekologis dari sungai-sungai yang bermuara ke teluk. Hal ini diduga menjadi penyebab rumput laut mengalami kematian sejak akhir tahun 2012. Akibatnya sampai saat ini tidak ada aktivitas budidaya dan tidak tersedia bibit sama sekali di wilayah Dusun Kotania dan Dusun Wael.
2.                  Masih rendahnya pemahaman masyarakat tentang arti pentingnya menjaga kelestarian lingkungan dan perairan. Menurut informasi yang diperoleh dari Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Seram Bagian Barat dan juga para pembudidaya bahwa masih adanya aktivitas pemboman ikan oleh sebagian kecil warga setempat. Aktivitas ini akan menyebabkan rusaknya ekosistem dan juga pencemaran. Penanganannya sendiri masih menemui kendala karena hanya bisa dilakukan pendekatan dan sosialisasi saja oleh Dinas Perikanan dan Kelautan bersama aparatur desa tanpa adanya sanksi tegas.

 IV. KESIMPULAN DAN SARAN
Dari hasil monitoring hama penyakit ikan dan lingkungan di Kabupaten Seram Bagian Barat, khususnya di Dusun Kotania dan Dusun Wael ini, maka dapat disimpulkan bahwa telah terjadi penurunan kualitas perairan di sekitar Teluk Kotania kawasan Dusun Kotania sampai ke Dusun Wael yang dapat mengancam keberlangsungan kegiatan budidaya perikanan laut terutama rumput laut. Adanya tekanan ekologis dari sungai-sungai yang menuju teluk akan terakumulasi di sekitar muara dan pada saat hujan maka akan terbawa ke teluk.
Dari hasil pengamatan di lapangan, maka disarankan supaya:
1.         Melakukan penanaman ulang rumput laut untuk bibit dan menunggu sampai bulan Mei saat mulai siklus masa panen antara Mei sampai Oktober.
2.         Memindahkan lokasi budidaya rumput laut ke arah luar teluk. Dengan alternatif di sekitar Pulau Osi atau Pulau Buntal yang masih memungkinkan untuk budidaya rumput laut.
3.         Adanya koordinasi yang lebih baik antar instansi dan pihak terkait untuk menangani permasalahan yang ada.
4.         Diperlukan kajian lebih lanjut untuk memantau kondisi perairan dengan parameter yang lebih lengkap di kawasan Teluk Kotania bekerja sama dengan pihak terkait.


DAFTAR PUSTAKA
Anggadiredja, J.T., Zatnika, A., Purwoto, H. dan Istini, S. 2009. Rumput Laut. Penebar Swadaya, Jakarta.
Anonim. 2006. Budidaya kan Kerapu Macan (Ephinepelus fuscoguttatus) Di karamba Jaring Apung. Balai Budidaya Laut Ambon. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta.
Anonim. 2010. Bantuan Teknis Penyusunan Rencana Zonasi Rinci Kawasan Minapolitan di Kabupaten Seram Barat. Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Kementerian Kelautan dan Perikanan. Jakarta.
Anonim. 2010. Laporan Tahunan 2009. Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Seram Bagian Barat
Boyd,C.E. 1990. Water Quality in Ponds for Aquaculture. Auburn. Univ. Alabama.
Http://www.bmkg.go.id/BMKG_Pusat/Klimatologi/Dinamika_Atmosfir.bmkg
Kordi, M.g. 2005. Budidaya Ikan Laut di Keramba Jaring Apung. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta.
Mao- Sen Su, 2000. Cage Culture. in Advanced Aquaculture. Taiwan Fisheries Reseach Intitute. 558 pp.
Nybakken, J.W., 1988. Biologi Laut: Suatu Pendekatan Ekologi. Gramedia, Jakarta.
Rifai, U. Dan Mahu, R. 2012. Laporan Kegiatan Pendampingan kawasan Minapolitan Teluk Kotania Kabupuaten Seram Bagian Barat. Balai Budidaya Laut Ambon. Kementerian Kelautan dan Perikanan. Ambon.
Tiensongrusmee, Pontjoprawiro dan Sudjarwo, 1986. Penilaian Lokasi Budidaya. Balai Budidaya Laut Lampung.

Sumber : Balai Budidaya Laut Ambon

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Prinsip Pengemasan Produk Berbahan Nabati dan Hewani

Mengenal Ikan Betutu