Perbaikan Kualitas Benih Bandeng (Chanos chanos forsskal) Produk Hatchery Rumah Tangga dengan Memanfaatkan Tetes Tebu Dalam Lingkungan Pemeliharaan Larva
Perbaikan Kualitas Benih Bandeng (Chanos chanos forsskal) Produk
Hatchery Rumah Tangga dengan Memanfaatkan Tetes Tebu Dalam Lingkungan
Pemeliharaan Larva
Tujuan
:
- Meningkatkan
wawasan dan pengetahuan bagi pengelola/teknisi HSRT tentang pentingnya telur
dan benih bandeng berkualitas baik sehingga mampu mendukung peningkatan
produksi budidaya dan mampu memenuhi pangsa pasar ekspor.
- HSRT mampu
berperan sebagai sumber utama penghasil benih berkualitas baik secara kontinyu,
sehingga mampu memperbaiki citra buruk rendahnya kualitas benih bandeng produk
HSRT di lingkungan pembudidaya tambak.
Rincian dan Aplikasi Teknis
3.1. Persaratan Teknis Penerapan Teknologi
Hatchery yang digunakan untuk produksi benih bandeng biasanya
bersifat multi spesies (kerapu dan bandeng) yang sistem operasionalnya
disesuaikan dengan kebutuhan pangsa pasar. Beberapa persaratan dalam penentuan
lokasi / tata letak hatchery antara lain:
a. Hatchery
harus berada di daerah yang mudah mendapatkan air laut bersih secara terus menerus.
b. Hatchery
harus jauh dari sungai agar terbebas dari bahaya erosi dan banjir akibat luapan
air saat terjadi hujan deras maupun pasang tertinggi laut, serta terlindung
dari badai.
c. Tanah
harus mampu menahan bobot bangunan tangki lebih dari 5 m3/m2.
d. Elevasi
lahan dapat menjamin aliran air buangan secara sempurna sehingga tidak ada genangan
dan ramah lingkungan.
e. Hatchery
harus terhindar dari polusi baik limbah industri maupun buangan rumah tangga sehingga
terbebas dari pencemaran.
f.
Air tawar harus selalu tersedia dalam jumlah
yang cukup untuk menjaga kebersihan dan higienitas peralatan ataupun sarana
yang digunakan.
g. Sudah
terpasang instalasi listrik dan siap pakai selama 24 jam baik dari PLN ataupun
darigenerator dan diletakkan jauh dari fasilitas operasional produksi benih.
h. Pembangkit
udara (blower) diletakkan di tempat yang tidak mengganggu proses produksi benih
dan ketenangan kerja.
i.
Harus tersedia sarana transportasi yang
mendukung operasional produksi benih.
3.2.
Gambaran/Uraian/rincian teknologi
j.
Penerapan teknik produksi benih ikan bandeng
berkualitas baik di HSRT, dilakukan berdasarkan
k. Standar
Operasional Prosedur (SOP) yang berlaku (tahun 2013) dengan menerapkan pola
cara
l.
pembenihan ikan yang baik (CPIB) yakni seperti
tertera pada Diagram 1 dan Tabel 1 berikut :
Tabel 1. Teknik produksi benih ikan bandeng berkualitas baik dengan memanfaatkan tetes tebu
sebagai inovasi dalam manajemen pemeliharaan larva yang telah diaplikasikan di HSRT
3.2.b. Cara penerapan teknologi
- Penanganan induk
Induk-induk
bandeng yang dimiliki HL sebagai penghasil telur umumnya dipelihara secara terkontrol
pada bak-bak beton berkapasitas 100 m3. Dalam pemeliharaannya induk-induk tersebut
diberi ransum pakan komersial berupa pellet kering yang telah ditingkatkan
nutrisinya (diperkaya) dengan cara menambahkan bahan aditif seperti tertera
pada Tabel 2.
Secara teknis pencampuran bahan
pengkaya dilakukan hingga homogen dengan menggunakan mixer, selanjutnya
dicampurkan merata kedalam pakan komersial pellet kering secara manual dengan
menggunakan tangan. Pakan yang telah diperkaya tersebut dikering-anginkan
dengan cara disebarkan ke-lembaran plastik sehingga butiran pelet tidak saling
menumpuk satu dengan yang lainnya. Pakan yang telah kering disimpan di tempat
yang sejuk dengan sirkulasi udara yang baik. Pencampuran pakan dengan bahan
pengkaya dilakukan setiap 5-7 hari, agar sirkulasi pakan sebagai ransum induk
berlangsung lebih cepat, sehingga tumbuhnya jamur pada pakan dapat dihindari.
Ransum pakan diberikan 3-4 kali sehari sedikit demi sedikit (ad libitum) dan
dihentikan apabila respon ikan sudah berkurang.
-
Penanganan Telur
Telur bandeng yang digunakan untuk
produksi benih di HSRT adalah hasil pemijahan induk-induk bandeng di HL.
Telur-telur yang baru dipanen dari egg colector (Gambar 2) dipindahkan ke dalam
bak inkubasi (bak fiber 100 Liter) dan diberi aerasi berkekuatan sedang selama
± 30 menit.
Setelah aerasi dihentikan dipilih
telur-telur yang fertil dengan tingkat pembuahan (fertilitas) ≥ 80%. Telur yang
fertil berwarna bening transparan dan mengapung / melayang merata di seluruh badan
air dalam bak inkubasi, sedangkan telur-telur yang tidak dibuahi berwarna putih
keruh mengendap di dasar wadah, segera dibuang dengan cara disipon.
Selanjutnya Selanjutnya telur-telur
yang fertil dikemas sesuai takaran/kepadatan tertentu (100.000-150.000 butir),
dimasukkan kedalam kantong plastik (30x60 cm) dan diisi oksigen sampai 2/3
bagian dari volume plastik (Gambar 4). Telur-telur tersebut dijual dan
didistribusikan ke HSRT yang memerlukannya. Sesampainya di HSRT telur di-desinfeksi
dengan menggunakan Iodine 50 ppm selama 20 menit (Afifah, dkk. 2011) (Gambar
5), kemudian dipindahkan ke-dalam bak pemeliharaan larva yang berkapasitas 6 -
10 m3 dan berada di luar ruangan (outdoor). Bak yang digunakan mempunyai
spesifikasi yaitu dinding bagian dalam di-cat warna kuning (light chrome yellow)
dengan kisaran panjang gelombang 578-596 micrometer (Ahmad, et al. 1994).
Kepadatan optimal telur yang ditebar adalah 100.000 – 150.000 butir/bak. Hal
ini disesuaikan dengan jumlah pakan alami (Nannochloropsis spp dan rotifera)
yang mampu disediakan HSRT melalui kultur masal dengan pola panen harian. Bak
pemeliharaan larva telah dilengkapi dengan sistim aerasi yang diatur merata di
seluruh bagian wadah. Setelah 24 jam, pada kisaran suhu air 28-30 oC telur akan
menetas dan segera dihitung daya tetasnya. Selanjutnya aerasi dimatikan sesaat
dan cangkang telur yang mengendap di dasar wadah dibersihkan dengan cara
disipon.
-
Manajemen pemeliharaan larva (pakan dan lingkungan)
Rotifer adalah pakan alami utama dalam
pemeliharaan larva bandeng. Oleh karenanya kultur masal pakan alami harus
dilakukan lebih dini ( 2 minggu) sebelum penebaran telur hingga mencapai
kepadatan optimal dan stabil. Selama pemeliharaan larva, rotifer diberikan
sesuai perkembangan larva dengan jumlah optimal dan bertahap (5-30 ind./mL)
mulai hari ke-dua setelah telur menetas (D2) hingga menjelang panen (Diagram
2). Adapun pakan buatan komersial berupa tepung (powder) (Gambar 6), diberikan
mulai hari ke-10 hingga menjelang panen, hanya sebagai asupan untuk melengkapi
kebutuhan karbohidrat guna mendukung pertumbuhan larva. Sedangkan Nannochloropsis
dan tetes tebu dosis 2 ppm (Aslianti, et al. 2012) diberikan mulai hari ke-2
(D2). Nannochloropsis selain berfungsi sebagai pakan rotifer juga sebagai
penyeimbang lingkungan pemeliharaan (greenwater). Adapun pergantian air selama
pemeliharaan larva dilakukan secara bertahap sebanyak 20%-100% mulai hari ke-10
hingga menjelang panen.
-
Penyediaan pakan alami (Nannochloropsis dan rotifer)
Nannochloropsis oculata adalah jenis
phytoplankton yang berukuran 2-4 mikron yang merupakan pakan otifera dan dalam pemeliharaan larva berfungsi
sebagai peneduh (green water). Kultur massal Nannochloropsis dilakukan dengan menggunakan
bak yang berkapasitas mulai 500 liter (bak fiber) sampai 10 m3 (bak beton) dan
berada di luar ruangan sehingga mendapat sinar matahari langsung yang sangat
penting dalam proses fotosintesis. Bak diisi air laut yang bersalinitas 28-30
ppt dan telah disaring melalui filter bag, kemudian disucihamakan menggunakan
klorin (50-100 gr/m3) selama 24 jam dengan aerasi kuat. Esok harinya air dinetralkan
dengan sodium thiosulfat sebanyak setengah dosis klorin, selanjutnya diberi
pupuk komersial a.l : urea (15-30 gr/m3); TSP (15-30 gr/m3); ZA (100-150 gr/m3),
dan EDTA (10-20gr/m3). Inokulum Nannochloropsis dari kultur murni
(laboratorium) dengan kepadatan 15-20 juta sel/mL dituang kedalam air media
yang sudah dipupuk dengan perbandingan 1 : 10 bagian. Dengan aerasi yang kuat
dan sinar matahari cukup, dalam waktu 5-7 hari kepadatan Nannochloropsis dapat
mencapai 10 juta sel/mL. Secara bertahap kultur massal dapat dikembangkan
dengan cara yang sama ke-dalam bak dengan volume lebih besar sesuai kebutuhan.
Rotifer (Brachionus rotundiformis)
adalah jenis zooplankton yang berukuran 80-100 mikron (type S) biasa digunakan
sebagai pakan larva bandeng. Kultur rotifer dilakukan di luar ruangan tetapi tidak
terkena sinar matahari langsung (bak berada di bawah atap transparan/fiber
sebagai peneduh). Tahapan kultur bisa dimulai dari volume 1 m3 sampai 10 m3.
Bak diisi Nannochloropsis setengah bagian dan diinokulasi dengan rotifer
(kepadatan 20-30 ind./mL) hingga volume bak terisi 2/3 bagian. Setelah 2-3 hari
kepadatan rotifer mencapai 80-100 ind./mL, selanjutnya kedalam bak ditambahkan Nannochloropsis
hingga volume bak penuh. Setelah 2-3 hari rotifer bisa dipanen secara bertahap.
Panen dilakukan dengan cara menyurutkan volume air melalui lubang pembuangan di
dasar wadah dan ditampung dengan menggunakan saringan khusus rotifer (plankton
net ukuran 20 mikron) (Gambar 8). Rotifer yang dipanen dapat langsung diberikan
sebagai ransum pakan larva bandeng. Panen rotifer dapat dilakukan sebagian
ataupun panen total. Jika dipanen sebagian maka ke-dalam bak rotifer setelah
dipanen ditambahkan Nannochloropsis hingga volume bak penuh. Setelah 2-3 hari
dilakukan panen kembali, begitu seterusnya hingga 3-4 kali panen, dan
selanjutnya rotifer bisa dipanen seluruhnya.
- Panen benih
Panen benih dilakukan setelah larva
berumur minimal 16 hari, dengan asumsi bahwa perkembangan tulang belakang sudah
cukup kuat sehingga dapat mengurangi resiko kematian saat dilakukan panen.
Secara morfologi benih siap dipanen jika gerak renang aktif mengitari dinding
wadah, melawan arus, dan respon terhadap hentakan. Ukuran benih relatif seragam
dengan kisaran panjang total 12-14 mm. Berdasarkan pengamatan mikroskopis
tulang belakang sampel yang telah diwarnai sesuai metode Potthof (1984),
terlihat kokoh dan berada pada fase transisi/peralihan dari tulang rawan (cartilage)
yang ditandai dengan warna biru tua, menjadi tulang keras (bone) yang berwarna
merah (Gambar 9). Panen benih diawali dengan menurunkan ketinggian air
pemeliharaan hingga setinggi 30 cm. Dengan cara menggiring menggunakan jaring kasa,
dan dengan menggunakan serok, benih ditampung pada waskom berwarna putih (vol.
20 liter) (Gambar 10). Selanjutnya menghitung benih secara manual sebanyak
1.000-2.500 ekor dan ditempatkan pada wadah (waskom putih vol. 3 liter), yang
akan digunakan sebagai dasar penghitungan benih secara sampling. Dengan
demikian dapat diketahui hasil panen total dari setiap bak pemeliharaan. Benih
dihitung dengan satuan “rean” yang identik dengan 5.500 ekor, selanjutnya benih
dipacking dan dikirim sesuai pesanan (lokal ataupun ekspor).
3.3.
Pengkajian dan penerapan teknologi `
Penerapan teknologi produksi benih
ikan bandeng berkualitas baik telah dilakukan pada tahun 2012 pada satu unit
HSRT di desa Musi, dan pada tahun 2013 teknik tersebut diterapkan dalam bentuk
diseminasi pada 5 unit HSRT yang berlokasi di Bali Utara tepatnya di desa
Banyupoh, Penyabangan, Musi, Sanggalangit dan desa Gerokgak yang semuanya
termasuk wilayah kecamatan Gerokgak, Kab. Buleleng, Provinsi Bali. Tujuan
diseminasi adalah teradopsinya teknik produksi benih bandeng berkualitas baik
di HSRT sehingga HSRT mampu berperan sebagai sumber pasok benih yang utama
dalam mendukung kegiatan budidaya untuk meningkatkan produksinya. Kegiatan ini
dilakukan seiring dengan berkembangnya issue di masyarakat petambak (2010-2012)
bahwa benih produk hatchery (khususnya Bali Utara) tumbuh lambat setelah
dibudidayakan di tambak. Manajemen pemeliharaan larva berdasarkan SOP 2013 dan pola
CPIB meliputi:
1.
Penggunaan iodin sebagai desinfektan telur
untuk mengantisipasi terinfeksinya telur oleh parasit/jamur yang dapat
menghambat perkembangan embrio sehingga mempengaruhi daya tetasnya.
2.
Pemanfaatan tetes tebu yang merupakan limbah
proses produksi gula tebu sebagai inovasi ntuk stimulan dalam media
pemeliharaan larva dan berperan sebagai penyeimbang serta meningkatkan
kesuburan lingkungan, sehingga mendukung pertumbuhan dan kelangsungan hidup
larva.
3.
Dalam pelaksanaan diseminasi masing-masing
HSRT melakukan 3 siklus produksi, dimana setiap siklus menggunakan 3 buah bak
beton outdoor kapasitas 6 m3 dengan kepadatan tebar telur optimal 100.000 –
150.000 butir/bak dan masa pemeliharaan larva minimal sampai berumur 16 hari.
Kelangsungan hidup benih yang dihasilkan masing-masing HSRT mencapai kisaran
86,53-89,39% dengan jumlah total benih hasil panen setiap HSRT (3 siklus)
sebesar 112-130 rean (1 rean = 5.500 ekor benih) atau sekitar 14 rean/bak.
Ukuran benih relatif seragam dan proporsional dengan kisaran panjang total
12,6-14,5 mm (Gambar 12). Kualitas benih termasuk kategori baik sesuai standar
ekspor. Postur tulang belakang normal bersegmen 44-45 ruas dan berada pada fase
transisi tulang rawan (cartilage) ke tulang keras (bone). Hal ini menunjukkan
keberhasilan yang meningkat dimana sebelum menggunakan tetes tebu hasil
produksi hanya mencapai 9-10 rean/bak dengan kisaran panjang total 9-11 mm.
Keberhasilan diseminasi tersebut membawa dampak positif bagi pengelola HSRT
dimana Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Buleleng-Singaraja berupaya
memprakarsai dan mewujudkan sertifikasi benih bagi HSRT yang berhasil
memproduksi benih berkualitas ekspor.
4.
Benih bandeng produk HSRT hasil terapan dan
diseminasi juga telah diujicoba untuk dibesarkan di tambak Jawa Timur yaitu di
Kab. Lamongan, Gresik, dan Sidoardjo dalam kegiatan IPTEKMAS tahun 2012 dan
2013. Di Kab. Lamongan budidaya bandeng dengan menggunakan benih berkualitas
baik produk HSRT, dalam waktu 32 hari panjang total benih mencapai 2 inchi (4-5
cm) dan mencapai 10-12 cm dalam waktu 2 bulan. Demikian juga budidaya bandeng
di Kab. Gresik dengan menggunakan benih terseleksi dapat mencapai bobot 3-4
ekor/kg dalam waktu pemeliharaan 4 bulan, dan di Sidoardjo kelangsungan hidup
benih yang ditebar mencapai 87-90% pada umur 3-4 bulan.
5.
Dengan keberhasilan tersebut HSRT dinilai
mampu mengadopsi teknik produksi benih berkualitas baik dan sekaligus mampu
memperbaiki citra buruk rendahnya kualitas benih produk hatchery di lingkungan
petani tambak.
Sumber:
Rekomendasi Teknologi KP 2014, badan
Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan
Perikanan
Tim
Penemu
Ir. Titiek
Aslianti, MP.
Afifah Nasukha,
S.Pi.
Ir. Tony
Setiadharma
Ir. Retno Andamari,
M.Sc.
Ni Wayan Widya
Astuti, S.Pi.
Komentar
Posting Komentar