Teknologi Akuakultur Jawaban Hadapi Tantangan Krisis Air dan Pangan
TEKNOLOGI AKUAKULTUR JAWABAN HADAPI TANTANGAN
KRISIS AIR DAN PANGAN
Momen hari air sedunia
yang jatuh pada setiap tanggal 22 Maret, menjadi titik balik untuk memberikan
pemahaman tentang pentingnya sumberdaya air bagi kehidupan, sekaligus
menyampaikan fakta bahwa kekhawatiran terjadinya krisis air, memang bukan
isapan jempol semata.
Perubahan iklim dan
lingkungan global yang dipicu oleh efek pemanasan global (global warming) telah
memberikan dampak penurunan kualitas lingkungan yang begitu cepat. Kondisi ini
kemudian diperparah oleh tindakan eksploitatif manusia dalam memanfaatkan
sumberdaya alam dan lingkungan tanpa mengindahkan supportive carrying capacity.
Dua hal ini, menjadi akar penyebab masalah yang dihadapi oleh berbagai negara
di belahan dunia, khususnya resiko terjadinya krisis air yang menjadi penopang
utama kehidupan masyarakat di muka bumi.
Permasalahan
keterbatasan sumberdaya air, telah secara langsung memberikan dampak negatif
terhadap penurunan produktivitas sumberdaya alam yang berbasis pangan. Ini
tentunya yang menjadi kekhawatiran masyarakat global saat ini. Ledakan jumlah
penduduk sudah barang tentu akan disertai oleh kebutuhan pangan yang kian
besar. Sementara kerentanan pangan sudah mulai nampak sebagai akibat dari
kerersediaan sumberdaya air yang kian menurun secara signifikan. Penurunan
mulai terlihat pada perairan umum yang menunjukkan penurunan debit air secara
terus menerus.
Kesimpulannya, maka
perlu ada strategi bagaimana mencukupi kebutuhan pangan ditengah permasalahan
keterbatasan sumberdaya air dan lahan.
Akuakultur Tawarkan
Solusi
Preferensi masyarakat
global terhadap bahan pangan berbasis ikan semakin meningkat tajam. FAO
memprediksi hingga tahun 2030 kebutuhan dunia akan ikan mencapai 172 juta ton,
dimana sekitar 58% akan bergantung pada produk akuakultur.
Direktur Jenderal
Perikanan Budidaya, Slamet Soebjakto, baru-baru ini menjelaskan bahwa strategi
untuk mendorong suplai ikan konsumsi harus menggunakan inovasi teknologi yang
mengedepankan prinsip eko-efesiensi yakni mendorong produktivitas dengan
mengandalkan input sumberdaya yang efisien. Ia menekankan makna efisien
tersebut yakni terkait penggunaan sumberdaya air dan lahan.
"Tantangan besar
akuakultur adalah bagaimana meningkatkan produktivitas untuk suplai pangan,
namun dengan penggunaan sumber air dan lahan yang lebih efisien. Penggunaan air
tanah yang berlebihan akan mengancam ketersediaan air dan pasti akan timbul
konflik, oleh karenanya usaha budidaya ikan yang dilakukan di darat akan
didorong dengan memanfaatkan sumberdaya air terbatas, atau bahkan dengan
teknologi kita bisa tekan tanpa ada pergantian air sama sekali. Dalam
akuakultur ini sangat mungkin dan telah dibuktikan", jelasnya.
Slamet lantas
membeberkan berbagai keberhadilan inovasi teknologi tersebut antara lain
pengembangan budidaya ikan dengan teknologi Recirculating Aquaculture System
(RAS), pengembangan biofiltration system, pengembangan budidaya lele sistem
bioflok dan penerapan sistem resirkulasi tertutup (closed recirculation
system).
Penerapan sistem RAS
telah terbukti mampu mengefesiensikan penggunaan air hingga lebih 80%, namun
menghasilkan output produktivitas ikan hingga 100 kali lipat dibanding sistem
konvensional.
Biofiltration system
saat ini telah mulai berkembang diterapkan dalam kegiatan akuakultur. Sistem
filtrasi yang efektif akan menghasilkan kualitas air yang stabil dan memicu
penggunaan air yang efisien bahkan bisa ditekan dengan tanpa dilakukan
pergantian air.
Inovasi yang saat ini
telah memasyarakat yakni penerapan budidaya intensif lele sistem bioflok.
Sistem ini mampu menghemat penggunaan air hingga lebih 80%, outuput limbah
budidaya dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan nilai tambah yakni
diintegrasikan dengan sistem aquaponik. Sistem ini juga mampu menggenjot
produktivitas ikan hingga 10 kali lipat dibanding konvensional.
Begitupun dengan
closed recirculation system pada budidaya di tambak telah secara nyata mampu
menekan penggunaam air khususnya penggunaan air tawar.
Kesemua teknologi di
atas, menurut Slamet sebagai bagian dari upaya menghadapi tantangan global ke
depan khususnya terkait bagaimana mencukupi kebutuhan pangan ditengah krisis
ekologi utamanya keterbatasan sumberdaya air.
"Paradigma
pengelolaan akuakultur ke depan yakni mulai bijak dalam berfikir bahwa alam
memiliki keterbatasan optimum dalam mensupport kehidupan, sehingga pengelolaan
harus dilakukan secara bertanggungjawab", pungkas Slamet.
Ulasan beberapa pakar
di dunia, yang menyatakan bahwa pengembangan akuakuktur akan memicu konflik
berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya air, melalui upaya di atas pernyataan
tersebut dapat terpatahkan. Bahwa melalui penerapan inovasi teknologi dan
penerapan produksi bersih dalam proses budidaya, maka tantangan besar terkait
krisis air dan ketahanan pangan mampu dihadapi dengan baik.
Pada akhirnya,
peringatan hari air sedunia, diharapkan akan menjadi momentum penting untuk
mendorong pengelolaan sistem produksi akuakultur secara efisien.
Berbagai inovasi
teknologi akuakuktur yang telah terbukti efektif diterapkan diharapkan mampu
diadopsi secara massal oleh masyarakat dan pelaku industri akuakultur di Indonesia.
Dengan demikian akuakultur justru hadir dalam memberikan solusi masa depan
yakni mencukupi kebutuhan pangan tanpa mengorbankan nilai penting air sebagai
penopang kehidupan.
Sumber: https://kkp.go.id/djpb/artikel/3131-teknologi-akuakultur-jawaban-hadapi-tantangan-krisis-air-dan-pangan
Komentar
Posting Komentar