Teknologi Produksi Benih Udang Windu Unggul dengan Aplikasi Probiotik Alteromonas sp BY-9 dan Bacillus cereus (BC)
Teknologi Produksi
Benih Udang Windu Unggul dengan Aplikasi Probiotik Alteromonas sp BY-9 dan Bacillus
cereus (BC)
Teknologi produksi benih udang
windu unggul melalui aplikasi probiotik bertujuan menghasilkan benih berukuran
seragam, tumbuh cepat, dan bebas WSSV yang dalam proses produksinya tanpa
pemakaian antibiotik. Aplikasi teknologi ini di panti perbenihan diharapkan menghasilkan benur windu unggul
yang dapat memenuhi kebutuhan pembudidaya secara tepat mutu, jumlah, harga,
ukuran, waktu, dan tempat.
Rincian Dan Aplikasi
Teknis/Persyaratan Teknis Yang Dapat Dipertanggungjawabkan
1.
Persyaratan Teknis Penerapan Teknologi
Mengingat bahwa teknologi
produksi benih udang windu unggul merupakan salah satu dari serangkaian
teknologi produksi benih di hatchery, maka keberhasilan penerapan teknologi ini
sangat tergantung pada segala aspek ketersediaan sarana dan prasarana unit
perbenihan seperti pemilihan lokasi, desain perbenihan, pengolahan air, biosekuriti,
penanganan induk, pemeliharaan larva serta panen dan transportasi benih.
Uraikan
secara lengkap dan detail SOP, mencakup:
a. Gambaran/uraian/rincian
teknologi
Penyediaan induk dan benih unggul
merupakan faktor penting dan strategis untuk dapat menggerakkan kembali seluruh
potensi perikanan budidaya. Tersedianya benih unggul bagi pembudidaya merupakan
kunci utama di dalam menunjang keberlanjutan produksi perikanan budidaya. Salah
satu persyaratan benih unggul yang dianggap dapat meningkatkan kinerja pertambakan
udang adalah penggunaan benur Spesific Pathogen Free (SPF). Teknologi produksi
benur SPF seperti yang dikemukakan di atas telah dilakukan di Instalasi
Pembenihan Udang Windu (IPUW), Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air
Payau dengan hasil yang positif. Oleh
karena itu, teknologi produksi benur udang windu SPF tersebut perlu disosialisasikan
dan disebar luaskan, terutama pada hatchery yang selama ini memproduksi benur
udang windu.
b. Jenis dan cara apliksi
probiotik
·
Probiotik
yang digunakan adalah probiotik dari strain Alteromonas sp. BY-9 dan Bacillus
cereus (BC).
·
Probiotik
Alteromonas sp. BY-9 dan Bacillus cereus (BC) berbentuk cairan dan dapat
diperbanyak menggunakan biakan murni 10 ml untuk dikembangkan padamedia kultur
volume 5 l.
·
Aplikasi
probiotik untuk produksi benih udang windu dimulai pada stadia zoea sampai
mysis-3 setiap pagi hari setelah pergantian air media budidaya dengan dosis
masing-masing 500 ml per ton dengan kepadatan probiotik 106cfu/mL.
·
Stadia
zoea dan mysis 3 membutuhkan waktu masing-masing 3 hari, sedangkan proses
perbanyakan probiotik membutuhkan waktu 3-4 hari, sehingga praktis penyediaan
probiotik pada setiap siklus adalah 9-10 hari.
·
Standar
operasional (SOP) kultur probiotik mengikuti Metode Gogami dan Maeda (1992) dalam
Haryanti dkk. (2002).
·
SOP
kultur probiotik. Media kultur bakteri probiotik terdiri atas campuran antara bacto
peptone, bacto malt-extract, bacto yeast-extract, dan bacto soytone dengan
kadar masing-masing 0,05 %; 0,1 %; 0,05 %, dan 0,1 % dalam air laut steril dengan
pH 7,6 dan suhu 25 oC. Isolat Alteromonas sp. BY-9 yang dibiakkan dalam agar
miring disuspensikan dalam 10 ml air laut steril dengan jarum ose. Suspensi bakteri
tersebut kemudian diinokulasikan lebih lanjut sebanyak 2,5 mL ke dalam 50 mL
media tumbuh baru dan diinokulasikan selama 48 jam pada suhu 25 oC. Kepadatan
bakteri probiotik pada volume 50 mL berkisar antara 3-5 x 1011 cfu/mL. Bakteri
yang telah tumbuh dalam volume ini merupakan inokulan bagi media biakan
berikutnya dengan volume yang lebih besar. Untuk mendapatkan biakan bakteri
dengan volume 5 L diperlukan inokulan bakteri sebanyak 10 mL dan diinokulasi
selama 48 jam pada suhu 25 oC. Selama inkubasi juga diberi aerasi yang telah
melalui filter 0,20 mm. Dari volume tersebut biakan Alteromonas sp. BY-9 sudah
dapat digunakan untuk inokulasi dalam media pemeliharaan larva udang.
c.
Cara penerapan teknologi yang diurut mulai persiapan sampai panen
· Penanganan
induk: induk yang digunakan berasal dari sumber induk yang berkualitas baik dan
ditangani secara baik mulai dari pengangkutan sampai ke lokasi perbenihan,
seleksi fisik dan uji PCR.
· Pematangan
gonad: ablasi dengan pemotongan salah satu bola mata, pemberian pakan berupa
pakan segar (cumi, kekerangan dan cacing) sebanyak 15-20% bobot total udang.
· Pemijahan dan panen telur: bak pemijahan
berbentuk kerucut volume 200 l. Induk yang sudah matang gonad dimasukkan
kedalam bak dengan air yang sudah ditreatmen dengan EDTA dosis 200 ppm.
Induk-induk yang sudah memijah dipindah kembali ke bak pematangan induk,
sedangkan telur yang dipijahkan dipanen untuk ditetaskan lebih lanjut.
· Penetasan
telur dan panen nauplius: bak penetasan telur berbentuk kerucut volume 200 liter.
Telur yang sudah dipanen dicuci dengan menggunakan air mengalir, selanjutnya
dipindahkan ke bak penetasan. Umumnya telur-telur akan menetas setelah 18-24
jam di bak penetasan dan dipanen pada sore harinya.
· Pemeliharaan
nauplius: setelah dibuahi, telur udang windu akan menetas dalam jangka waktu
18-24 jam tergantung suhu dan oksigen. Perbedaan suhu 40C (28 dan 320C) dapat
berakibat penundaan penetasan sampai 6 jam dan kekurangan oksigen dapat
mengakibatkan larva cacat atau telur tidak menetas. Benih udang yang baru
menetas, mengalami beberapa kali perubahan bentuk sebelum mirip secara
morfologis dengan udang dewasa (Gambar 2). Perubahan stadia dan substadia larva
udang (metamorfosis) menunjukkan perubahan morfologi yang berakibat pada
perubahan cara makan, jenis makanan dan ukurannya.
Gambar Stadia nauplii dengan penampilan organ tubuh
lengkap.
· Pemeliharaan
zoea: Tahap berikutnya adalah Zoea yang melalui 3 tahap. Zoea mudah dikenali
dengan gerakan majunya dan perkembangan rostrumnya (Gambar 3). Zoea memakan
fitoplankton terutama diatom sebagai sumber asupan biosilikat. Pada stadia zoea
3, aplikasi probiotik mulai dilakukan sampai akhir fase mysis. Fase ini
dicirikan dengan gerakannya yang melentik dan munculnya kaki renang. Pada tahap
ini larva masih tetap membutuhkan diatom dengan jumlah yang lebih banyak. Untuk
mendapatkan perkembangan zoea yang baik dianjurkan menggunakan pakan Chaetoceros
sp sejak nauplius sampai zoea akhir. Perlu dihindari penggunakan Skeletonema sp
kalau memungkinkan
Gambar Stadia Zoea
· Pemeliharaan
mysis: Stadia mysis ini mengalami proses metamorphose selama 6 kali yaitu mysis
1 sampai mysis 6. Pada tahap akhir ini larva udang sudah menunjukkan bentuk
yang sudah mirip dengan larva udang post larva (PL) (Gambar 4). Pada stadia ini
penggunaan pakan Skeletonema sp sudah dianjurkan sampai memasuki Pl 4. Sistem
pemeliharaan pada stadia ini pakan perlu menjadi perhatian utama. Artemia sudah
harus diberikan, demikian pula pakan alami lain seperti Skeletonema sp dan
pakan tambahan lainnya sesuai kebiasaan pada setiap hatchery.
Gambar Stadia Mysis
· Pemeliharaan
Post larva (Pl): Stadia PL memiliki tahapan perkembangan setiap yaitu mulai
PL-1 sampai siap di panen setelah mencapai minimal PL-12. Selama proses
pemeliharaan larva tersebut, pakan yang diberikanan berupa artemia dan pakan
tambahan serta tetap ditambahkan algae sebagai peneduh. Selama stadia PL
pergantian air dilakukan jika kualitas airnya cenderung jelek. Pengamatan kesehatan
larva pada stadia ini sangat penting, bahkan pada stadia Pl 4 harus dilakukan
pengamatan pathogen, terutama WSSV dengan PCR. Pengamatan kesehatan larva
menggunakan PCR dilakukan lagi minimal pada Pl 12.
· Panen
benur: Panen benur dilakukan minimal ukuran Pl-12 dengan cara menyeser saat air
bak masih banyak dan menyurutkan air melalui pipa pembuangan sambil dilengkapi
saringan panen. Selanjutnya benur ditampung dalam bak yang sudah disiapkan
sebelumnya. Sampling benur untuk setiap kantong dilakukan dengan takaran yang
sudah disiapkan dan disesuaikan dengan ukuran Pl yang akan diangkut
Sumber: Buku Rekomendasi
Teknologi KP Tahun 2014, Badan Penelitian dan Pengembangan KP, Kementerian
Kelautan dan Perikanan
Tim
Penemu
Ir. Syarifuddin Tonnek, MS.
Agus Nawang, S.St.Pi
Dr. Brata Pantjara, M.Si.
Dr. Andi Parenrengi, M.Sc.
Prof. Dr. Rachmansyah, MS.
Komentar
Posting Komentar