SUMBER: JURNAL TEKNOLOGI BUDIDAYA LAUT,
BALAI PERIKANAN BUDIDAYA LAUT AMBON
EFEKTIFITAS PEMIJAHAN IKAN BLUE DEVIL (Chrysiptera cyanea) DENGAN PERBANDINGAN JUMLAH PASANGAN JANTAN BETINA YANG BERBEDA
BALAI PERIKANAN BUDIDAYA LAUT AMBON
EFEKTIFITAS PEMIJAHAN IKAN BLUE DEVIL (Chrysiptera cyanea) DENGAN PERBANDINGAN JUMLAH PASANGAN JANTAN BETINA YANG BERBEDA
Suharno, Abdul Gani dan Akhmad Sururi
I. PENDAHULUAN
Setiap makhluk hidup melakukan perkawinan untuk menjaga
kelestarian spesiesnya. Pada organisme aquatik proses perkawinan ini sering
disebut memijah, Proses pemijahan dibagi menjadi beberapa tahapan, yaitu courtship, proses mating dan spawning. Dalam
melakukan pemijahan selain lingkungan yang mendukung salah satu syarat utama
adalah induk harus matang gonad, tingkat
kematangan gonad setiap individu berbeda–beda tergantung dari jenis dan
jenis kelamin dari organisme tersebut.
Pengelolaan dan pemanfaatan
ikan hias perlu dilakukan, mengingat asosiasi ikan karang dan terumbu karang
sangat erat, sehingga eksistensi ikan karang di suatu wilayah terumbu karang
sangat rapuh ketika terjadi pengrusakan habitatnya (Hartati dan Idrus 2005).
Pada bagian lain pemanfaatannya terus berkembang sehingga dapat mengancam
keberadaan dan keanekaragaman spesies sumberdaya ikan hias.
Allen, (1996) dan Kuiter, (1992). dalam La Anadi, (1998). Menyatakan
spesies blue devil atau Betok Ambon
(Chrysiptera cyanea) termasuk Famili
Pomacentridae atau kelompok damselfish yang
hidup menyebar pada habitat terumbu karang, dimana tingkah laku semua jenis
ikan dari famili Pomacentridae dapat menjadi agresif terhadap tempat atau lokasi
dimana mereka tinggal dan sangat sensitif terhadap gangguan yang membahayakan
dirinya. Menurut Allen, (1972) dalam
La Anadi, (1998), ikan blue devil mempunyai daerah kekuasaan (territorial) dan
berusaha mempertahankan daerah kekuasaannya dengan segala kemampuan sehingga
sering tejadi perkelahian diantara ikan
blue devil sendiri. Ciri lain
dari ikan family Pomacentridae ini dalam melakukan perkawinan melalui
beberapa tahapan, yaitu courtship, proses mating, dan spawning. Induk jantan
sangat protektif dalam melakukan penjagaan terhadap telur yang telah dibuahi
selama lebih kurang 4 hari masa inkubasi sampai telur menetas.
Maksud
dan tujuan dilakukannya kajian ini adalah untuk menganalisa perbedaan
jumlah rasio jantan : betina terhadap tingkat pembuahan dan penetasan larva
ikan blue devil (Chrysiptera cyanea). Sehingga diharapkan kajian ini dapat
memberikan informasi sebagai bahan
pertimbangan dalam pengelolaan dan
pemeliharaan induk ikan blue devil (Chrysiptera
cyanea), dengan rasio jantan
betina yang berbeda, serta mengetahui tingkat produktifitas selama musim
pemijahan.
II.
MATERIAL DAN METODE
2.1
Waktu dan Tempat
Uji coba,
dilakukan di Indoor Hatchery Balai Budidaya Laut Ambon, Direktorat
Jenderal Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan. Kegiatan ini
dilaksanakan pada bulan Pebruari – April 2012.
2.2
Alat dan Bahan
Berbagai bahan dan alat yang akan digunakan untuk mendukung kegiatan penelitian
Perbedaan Jumlah Rasio Jantan : Betina
terhadap tingkat pembuahan dan
penetasan ikan Blue Devil (Chrysiptera
cyanea) seperti tetera pada Tabel 1. dan Tabel 2.
Tabel 1. Daftar
peralatan yang digunakan dalam
uji coba
No
|
Alat
|
Spesifikasi
|
Kegunaan
|
1
|
Bak
pemijahan
|
Fiber , vol
2m³
|
Wadah
pemeliharaan induk
|
2
|
Peralatan
|
(batu aerasi,kran,
selang aerasi
|
Suplai
oksigen
|
3
|
Baskom
plastik
|
30 liter
|
Wadah
pengukuran induk
|
4
|
Filter Bag
|
500 mikron
|
Penyaring
air
|
5
|
Serokan
/tanggo
|
Untuk
menangkap sampel induk
|
|
6
|
Mikroskop
|
Olympus
model HC-2
|
Pengamatan
telur ,untuk melihat perkembangan larva
|
7
|
Mikrometer
|
Untuk
mengukur besar telur dan yolk eggs,oil globule . dll
|
|
8
|
Alat ukur
kualitas air
|
YSI ,
Termometer digital ,
|
ukur
kualitas air, Suhu,pH,Do ,Salinitas.
|
9
|
Kamera
digital
|
Untuk
mengambil gambar
|
Tabel 2. Daftar Bahan yang digunakan
No
|
Bahan
|
Spesifikasi
|
Keterengan
|
1
|
Induk Ikan
(108 individu)
|
Blue Devil C. cyanea
|
Bahan Uji
|
2
|
Telur Ikan
|
Blue Devil C. cyanea
|
Bahan Uji
|
3
|
Telur Hasil
Fertilisasi
|
Blue Devil C. cyanea
|
Bahan
Pengamatan
|
3
|
Pakan Buatan
|
Pelet
|
Diberikan 2
kali sehari
|
4
|
Pakan hidup
|
Artemia
dewasa
|
2 Hari
sekali
|
5
|
Multivitamin
|
Scotemulsion,
|
Bahan
pengkaya
|
6
|
Kaporit
|
Bahan aktif
60%
|
Sterilisasai
alat
|
7
|
Antibiotik
|
Vircon
Aquatic
|
Mengeliminir
bakteri dalam bak induk
|
8
|
Formalin
|
4%
|
Mengawetkan
sampel telur
|
9
|
Aquades
|
Untuk Kalibrasi
Alat ukur
|
|
10
|
Tissu roll
|
Untuk
mengeringkan alat
|
2.3.
Metode Kerja
Kajian yang dilakukan bersifat eksperimen, dimana
induk ikan hias Blue Devil (Chrysiptera
cyanea) sebagai objek penelitian, di ukur panjang dan berat dan selanjutnya
dipilah secara acak untuk dipasangkan
dengan rasio jantan betina yang berbeda, pada bak pemijahan yang telah
disiapkan berupa bak fiber dengan kapasitas 2 ton atau 2 m3.
Selanjutnya pengamatan dilakukan dengan
cara mengamati frekuensi pemijahan, tingkat pembuahan dan derajat penetasan
ikan hias Blue Devil (Chrysiptera cyanea), Rangkaian prosedur
penelitian dirinci sebagai berikut:
·
ikan hias Blue Devil (Chrysiptera cyanea), yang dipelihara dengan jumlah rasio Jantan :
Betina yang berbeda, yaitu 1 : 1 , 1 :
2 dan 1 : 3 selama 3 bulan.
·
Wadah
pemeliharaaan induk ikan blue devil (Chrysiptera
cyanea) dengan menggunakan bak fiber dengan kapasitas 2 m³ atau 2
ton sebanyak tiga buah (3 buah) dengan
sistem air mengalir sedang.
·
Induk
diperoleh dari Desa Liang, Kabupaten Maluku Tengah yang telah di pelihara
(Domestikasi) selama 2 bulan dengan ukuran 4,5-7,5 cm sebanyak 108 individu.
·
Masing
– masing bak di isi induk ikan blue devil (Chrysiptera
cyanea) sebanyak, untuk Bak I
dengan perbandingan 1 : 1 (12 jantan : 12 Betina) untuk Bak II
perbandingan 1 : 2 (12 Jantan : 24
Betina) dan untuk Bak III perbandingan 1
: 3 (12 Jantan : 36 Betina).
·
Masing
– masing induk ikan blue devil (Chrysiptera
cyanea) diberi pakan pelet sebanyak
2-3% dari berat tubuh (BW) dengan frekwensi 2 kali sehari, pagi dan sore hari
serta diberi pakan alami berupa Artemia dewasa yang telah di perkaya dengan
multivitamin dua hari sekali.
·
Shelter atau sarang tempat penempelan telur
dipasang pada bak pemijahan masing –masing bak 7 shelter (shelter dari
paralon ukuran 2 inchi, dan dilapisi plastik
transparant dan bergaris).
·
Pengamatan
dilakukan setiap hari bila terjadi pemijahan, meliputi jumlah telur, ukuran,
derajad pembuahan dan selanjutnya jumlah telur menetas.
Pengambilan
sampel dilakukan setelah terjadi pemijahan dengan mengambil sarang (shelter) yang telah ditempeli telur pada masing-masing wadah kultur secara acak
sederhana. Sampel diambil dari bak
pemijahan setiap hari selama terjadi pemijahan, untuk mengamati tingkat pembuahan dan jumlah telur menggunakan
mikroskop dan hand counter, kemudian dihitung jumlah telur dan tingkat
pembuahan. Selanjutnya, Fertilitas
telur dihitung dengan cara membandingkan telur yang dibuahi dengan
jumlah telur seluruhnya, kemudian dikembalikan lagi ke bak pemijahan untuk diasuh
oleh induknya. Telur dibiarkan dalam pengasuhan induk sampai menjelang
penetasan atau hari ke empat masa
inkubasi selanjutnya sampel telur dicuplik dari sarang 12 jam, menjelang
menetas untuk selanjutnya ditetaskan pada aquarium yang telah dipersiapkan
untuk melihat derajat penetasan.
2.5. Metode
Analisis Data
Untuk melihat pengaruh
perbedaan jumlah rasio Jantan : Betina
terhadap derajat pembuahan dan
penetasan maka digunakan uji Chi-Square,
dimana menurut Khow. 2009 uji ini lazim digunakan pada uji non-parametrik yaitu membandingkan nilai harapan hitung (E) dan nilai pengamatan (O) dengan asumsi bahwa proporsi setiap kelompok
pengamatan adalah sama.
3.1.
Tingkat Pembuahan (Fertilisasi)
Pembuahan atau fertilisasi merupakan asosiasi gamet, dimana
asosiasi ini merupakan mata rantai awal dan sangat penting pada proses
fertilisasi. Rasio pembuahan sering digunakan sebagai parameter untuk
mendeteksi kualitas telur. Penggabungan gamet biasanya disertai dengan
pengaktifan telur. Selama fertilisasi dan pengaktifan, telur-telur ikan
teleostei mengalami reaksi kortikal. Kortikal alveoli melebur, melepaskan
cairan koloids, dan selanjutnya memulai pembentukan ruang periviteline.
Kjorsvik et al, (1990) dalam Utiah, (2006). Kortikal alveoli
muncul setelah terjadinya fertilisasi dan reaksi kortikal yang tidak lengkap
menunjukkan kualitas telur yang jelek. Beberapa hal yang mempengaruhi pembuahan
adalah berat telur ketika terjadi pembengkakan oleh air, pH cairan ovari, dan
konsentrasi protein (Lahnsteiner et
al., 2001).
Fertilisasai adalah peleburan dua
gamet yang berupa nukleus atau sel-sel bernukleus untuk membetuk sel tunggal
(zigot) atau peleburan nukleus. Biasanya melibatkan penggabungan
sitoplasma (plasmogami) dan penyatuan bahan nukleus (kariogami).
Dengan meiosis, zigot itu membentuk ciri fundamental dari kebanyakan siklus
seksual eukariota, dan pada dasarnya gamet- gamet yang melebur adalah haploid.
Bilamana keduanya motil maka fertilisasi itu disebut isogami, bilamana berbeda
dalam ukuran tetapi serupa dalam bentuk maka disebut anisogami, bila satu tidak motil (dan biasanya lebih
besar) dinamkan oogami (Huttner, 1980)
Pemijahan Induk Blue Devil (C. cyanea) dilakukan secara alami,
pembuahan dilakukan diluar tubuh,. Induk betina yang akan memijah mempunyai
ciri-ciri perut buncit dan genital papilanya menonjol, sedangkan yang jantan
agresif bergerak mengejar betina. Induk Blue Devil mulai membersihkan sarang (Selter Paralon) untuk menempelkan telurnya.
Proses pembersihan substrat dilakukan dengan cara menggerakkan badan mereka
seolah-olah seperti sapu. Proses ini dilakukan agar substrat benar-benar
bersih. Proses pemijahan biasanya berlasung sore antara pukul 18.30- 20.00 dan pagi hari antara pukul 04.00-05.00.
Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan sepasang induk dapat memijah secara
terus-menerus dengan selang waktu 4-5 hari sekali. Induk blue devil (Chrysiptera cyanea) memelihara telurnya
selama 4 hari dan telur menetas pada hari ke 4 Sore yaitu antara pukul 19.00 –
19.30. Jumlah telur yang dihasilkan bervariasi antara 900-3.500 butir. Telur
yang telah ditempelkan pada substrat akan dipelihara atau dijaga oleh induk
jantan setiap saat keluar masuk sarang untuk menghalau ikan yang lain yang
mencoba mendekati sarang dan membersihkan telur dari jamur dan parasit.
Telur yang terbuahi pada hari I berwarna putih, pada hari ke II berwarna putih krem, hari ke
III warna krem lebih dominan seiring dengan perkembangan embrio, dan pada hari
ke IV telur berwarna krem dengan tanda hitam. Warna hitam tersebut diakibatkan
pada embrio sudah terbentuk kromatopore sempurna pada mata, badan maupun ekor,
sedangkan yang tidak terbuahi berwarna putih.
Hasil perhitungan jumlah rata-rata telur pada
setiap sarang selama 6 kali pemijahan terhadap ketiga perlakuan disajikan pada Tabel 3. Rata-rata jumlah
telur pada setiap sarang pada perlakuan Rasio jantan betina 1:1 adalah 1953±44,83 butir, dengan rata-rata telur
fertile 1950±44,83 butir dan persen telur fertile 99,90%. Untuk perlakuan Rasio Jantan : Betina 1:2. adalah
2368±53,61 butir, dengan rata-rata telur fertile 2365±53,61 dan persen telur fertile 99,89%, Perlakuan
Rasio Jantan Betina 1:3 adalah rata-rata
jumlah telur 1580±50,63 butir dan rata-rata telur fertile 1578 ±50,63 butir
dengan persen telur fertile 99.95% . Dari ketiga perlakuan, capaian persen
tingkat pembuahan sangat tinggi, yaitu
diatas 99%.
Tabel 3.
Jumlah sarang (shelter) efektif yang ada telurnya/periode pemijahan
Periode Pemijahan
|
Perlakuan
|
||
Rasio
1 : 1
|
Rasio
1 : 2
|
Rasio 1 : 3
|
|
Jumlah Sarang
|
Jumlah Sarang
|
Jumlah sarang
|
|
1
|
2
|
4
|
3
|
2
|
2
|
5
|
6
|
3
|
3
|
6
|
5
|
4
|
4
|
3
|
4
|
5
|
3
|
4
|
7
|
6
|
2
|
4
|
7
|
Jumlah
|
16
|
26
|
32
|
Tabel 4. Rata-Rata Jumlah Telur Selama
Periode Pemijahan Pada Pada Sarang Buatan (shelter)
Untuk Ketiga Perlakuan.
Periode
Pemijahan
|
Perlakuan
|
||||||||
Rasio 1 : 1
|
Rasio 1 : 2
|
Rasio 1 :3
|
|||||||
Jumlah Telur
|
Jumlah Telur Fertil
|
% Telur Fertil
|
Jumlah Telur
|
Jumlah Telur Fertil
|
% Telur Fertil
|
Jumlah Telur
|
Jumlah Telur Fertil
|
% Telur Fertil
|
|
1
|
2519±62,18
|
2519
|
100
|
2849±44,67
|
2842
|
99.75
|
1486±60,28
|
1486
|
100
|
2
|
1816±61,72
|
1811
|
99.72
|
2681±45,65
|
2681
|
100
|
1386±42,36
|
1386
|
100
|
3
|
2054±57,02
|
2053
|
99.95
|
2426±15,88
|
2425
|
99.96
|
2107±40,04
|
2104
|
99.90
|
4
|
3066±63,40
|
3058
|
99.74
|
2997±83,50
|
2992
|
99.83
|
1746±56,61
|
1744
|
99,88
|
5
|
1043±23,51
|
1043
|
100
|
2157±63,51
|
2155
|
99.91
|
1378±58,51
|
1378
|
100
|
6
|
1218±53,81
|
1218
|
100
|
1722±16,09
|
1721
|
99.94
|
1374±44,99
|
1371
|
99.92
|
Rata-rata
|
1953
|
1950
|
99,90
|
2472
|
2469
|
99,89
|
1580
|
1578
|
99,95
|
Berdasarkan Uji chi-square yang dilakukan
terhadap tingkat pembuahan pada ketiga
perlakuan menunjukkan bahwa X2 hitung
= (0,071) < X2 tabel (18.31) db=(k-1) (r-1)=10 α=0,05. Dengan demikian hipotesis
awal (H0)
perbedaan rasio jantan betina terhadap tingkat pembuahan diterima dan menolak
hipotesis akhir (H1), yaitu perbedaan rasio jantan : betina berpengaruh terhadap tingkat
pebuahan. Hal ini disebabkan jenis ikan blue devil mempunyai kebiasaan berpasangan dalam
melakukan pemijahan secara alami, walaupun dalam satu bak terkontrol terdapat
2-7 pasang yang memijah pada saat yang hampir bersamaan sehingga sasaran
pembuahan yaitu telur dilakukan sesaat betina mengeluarkan telur diikuti jantan
menegeluarkan spermatozoa, tepat sasaran tepat waktu, sehingga motilitas
spermatozoa untuk sampai sasaran memebutuhkan waktu yang singkat. Menurut Hora dan Pillay (1962), dalam Partodiharjo, (1990), ukuran
spermatozoa pada ikan teleostei berkisar 40-60 µm, dengan produksi spermatozoa
yang cukup tinggi dan rata-rata volume milt yang dihasilkan ±0,5 ml dengan
jumlah spermatozoa 3,33×1011, jumlah spermatozoa yang banyak tentu
sangat berpengaruh terhadap tingkat penetasan.
3.2
Tingkat Penetasan
Data pengamatan terhadap tingkat penetasan (Hatching Rate) dari ketiga perlakuan menunjukkan tingkat penetasan yang
sangat baik yaitu pada tingkat diatas 93%, yang ditunjukkan pada tabel 4, dan
bisa lebih tinggi hingga mencapai 100%
jika proses pengasuhan selama masa inkubasi dilakukan oleh induknya. Karena
sifat ikan blue devil merupakan ikan yang melakukan pengasuhan (parental care), sehingga mempunyai
sintasan yang tinggi.
Tabel 5.
Persentase Jumlah Telur Menetas (Hatching
Rate)/Periode Pemijahan Terhadap Ketiga Perlakuan
Periode
Pemijahan
|
Perlakuan
|
||||||||
Rasio 1 : 1
|
Rasio 1 : 2
|
Rasio 1 :3
|
|||||||
Telur fertile ditetaskan
|
Jumlah Telur menetas
|
% Telur hatching
|
Telur fertile ditetaskan
|
Jumlah Telur menetas
|
% Telur menetas
|
Telur fertile
ditetaskan
|
Jumlah Telur menetas
|
% Telur menetas
|
|
1
|
245
|
238
|
97.14
|
308
|
287
|
93,18
|
263
|
258
|
98,09
|
2
|
231
|
221
|
95.67
|
312
|
302
|
96,79
|
305
|
297
|
97.38
|
3
|
142
|
132
|
92.96
|
361
|
342
|
94,74
|
460
|
433
|
94,13
|
4
|
195
|
189
|
96.92
|
371
|
354
|
95,42
|
164
|
157
|
95.73
|
5
|
202
|
190
|
94.06
|
160
|
145
|
90,63
|
296
|
292
|
98.65
|
6
|
164
|
164
|
100
|
210
|
194
|
92,38
|
333
|
268
|
80.48
|
Rata-rata
|
196
|
189
|
96,13
|
287
|
271
|
93,86
|
303
|
284
|
94,08
|
Berdasarkan
Uji Chi-Square yang dilakukan terhadap tigkat penetasan pada ketiga perlakuan menunjukkan bahwa X² Hitung
= 23,32 db = (k-1)(r-1) =10 α=0,05
X² table = 18.31 Kesimpulan :
X² Hitung > X² table , sehingga
Tolak Hipotesa Nol (H0), artinya ada
perbedaan yang signifikan jumlah rasio jantan betina terhadap tingkat penetasan
telur. Walaupun hasil penetasan untuk ketiga perlakuan memberikan hasil yang
sangat baik yaitu diatas 93%. Tingkat perbedaan hasil penetasan untuk ketiga
perlakuan tersebut diduga diakibatkan oleh adanya parasit dan jamur yang
menyerang embrio selama masa inkubasi berlangsung, Keberadaan
jasad renik pengganggu di wadah
penetasan berupa parasit dan
kuman – kuman penyakit. Mereka inilah yang dapat membuat kondisi telur ikan
menjadi rusak dan embrio telur menjadi mati, meskipun tempat penetasan
telur dilakukan pada tempat yang sama sehingga parameter kualitas media
penetasan berada pada kondisi yang sama dan
telur yang ditetaskan merupakan telur yang telah di inkubasi oleh induk
selama 3 hari pada media penetasan ± 12 jam sebelum telur menetas. Sehingga
perkembangan embrio secara internal cukup sempurna untuk dapat menetas dengan
baik.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil analisa yang diperoleh maka dirumuskan kesimpulan bahwa rasio jantan betina yang berbeda tidak
berpengaruh tehadap tingkat pembuahan tetapi berpengaruh signifikan terhadap
tingkat penetasan telur ikan blue devil
(Crysiptera cyanea).
Disarankan
dalam melakukan pemijahan dilakukan dengan perbandingan jantan betina yang lebih besar, karena peluang ikan
matang gonad pada saat musim pemijahan lebih besar lihat tabel 3.
DAFTAR PUSTAKA
Allen, GR, 1991. Damselfishes of the World. Mergus, Germany. - 271pp. 271pp.
Allen.G.R.
and R. Swainston, 1992. Reef Fishes of New Guinea Cristensen Research
Institute(Madang)
Huttner A.F.1980. Comparative
Embryology of the Vertebrates. MacmillanCompany, New
York
Khow. A.S.
2009, Metode dan Analisa Kuantitatif dalam Bioekologi Laut.
La Anadi, 1998. Tanggap betok Ambon (Chrysiptera cyanea) terhadap pemberian beberapa jenis
umpan.(Tesis IPB. Bogor)
Partodiharjo,
Soebadi. 1990. Ilmu Reproduksi Hewan. Mutiara Sumber Widya, Surabaya
Quoy
and Gaimard, 1825 dalam Fish Base 2010.
Randall, JE, Allen
GR, & Steene RC, 1997. – Fishes in Great Barrier Reef & Coral Sea (edisi
kedua). of Hawaii USA,. 557pp.
Suharti,
S.R. 1996, Keanekaragaman jenis dan kelimpahan Pomacentridae di Terumbu Karang
perairan Selat Sunda. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia No. 29:
Utiah, A. 2006. Penampilan Reproduksi Induk
Ikan Baung (Hemibagrus nemurus Blkr)
dengan Pemberian Pakan Buatan yang Ditambahkan Asam Lemak n-6 dan n-3 dan
dengan Implantasi Estradiol-17 dan Tiroksin. Disertasi. Institut Pertanian
Bogor.
Sumber : Balai Budidaya Laut Ambon
Komentar
Posting Komentar