Lestarikan Sidat, ‘Belut Bertelinga’ Bernilai Ekonomi Tinggi


Lestarikan Sidat, ‘Belut Bertelinga’ Bernilai Ekonomi Tinggi

Jakarta – Pernahkah Anda menikmati ikan sidat? Ikan dengan rasa lezat nan khas ini memiliki kandungan gizi yang sangat tinggi. Tak heran kemudian banyak yang menggemari. Di Jepang bahkan ikan sidat diolah menjadi makanan khas Jepang bernama Kabayaki. Tak tanggung-tanggung, setiap tahun masyarakat Jepang menggelar acara makan sidat yang disebut ‘Doyo No Ushi Nohi’.

Di Indonesia, sidat yang sekilas mirip dengan belut ini banyak ditemukan di sungai-sungai yang mengalir menuju laut dalam seperti di pantai barat Sumatera, pantai selatan Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan, Maluku, Sulawesi dan Papua. Dengan panjang tubuh hampir sama dengan belut, yaitu 50-125 cm, sidat memiliki sirip dada, sirip punggung, dan sirip dubur yang sempurna yang menyerupai daun telinga sehingga disebut juga sebagai belut bertelinga. Selain itu terdapat sisik sangat kecil yang terletak di bawah kulit pada sisi lateral.

Penyebutannya pun berbeda-beda di setiap daerah. Ada yang menyebutnya lumbon, uling, masapi, mosa, larak, lobang, denong, mengaling, lara, gatedeng, luncah, pelus, maupun sigili. Namun ikan sidat bernama latin Anguilla sp. ini di dunia internasional dikenal sebagai giant mottled eel.

Di Indonesia terdapat 6 dari 350 jenis ikan sidat yang ada di dunia. Akan tetapi hanya 2 jenis yang dibudidayakan, yaitu sidat kembang (Anguilla marmorata) dan sidat anjing (Anguilla bicolor).Sidat sebetulnya dapat bertahan hidup dengan mudah. Ia mampu mengabsorbsi oksigen melalui seluruh permukaan tubuhnya. Sisik sidat yg kecil membantu dalam proses pernafasan melalui kulit, di mana 60% kebutuhan oksigen pada ikan sidat dipenuhi melalui pernafasan kulit. Ia juga memiliki tutup insang berupa celah kecil yang terletak di bagian belakang kepala yang berfungsi mempertahankan kelembaban di dalam rongga branchial (Tesch 2003).

Makanannya pun banyak tersedia di alam. Ikan sidat dewasa biasanya memakan kepiting, udang, dan keong. Ikan sidat pada stadia elver/ glass eel memakan plankton, ikan kecil, udang-udangan, dan insekta.Ikan sidat memang merupakan jenis ikan yang bernilai ekonomi tinggi. Karena itu pula ikan sidat menjadi komoditas buruan, target eksploitasi penangkapan yang berlebihan. Kini kelestariannya mulai terancam akibat over fishing terutama pada ukuran stadia elver dan calon induk.

Beberapa jenis ikan sidat bahkan telah masuk International Union for Conservation of Nature (IUCN) Red List, yaitu daftar spesies yang terancam dan perlu mendapatkan penanganan melalui konservasi. Hal ini sebagai upaya mencegah kepunahan ikan sidat di dunia.

Untuk mengatur pemanfaatan ikan sidat secara bertanggung jawab dengan mengedepankan prinsip kelestarian, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) juga membuat beberapa regulasi pengelolaan. Salah satunya yaitu Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) No. 19 Tahun 2012 tentang Larangan Pengeluaran Benih Sidat (Anguilla sp) dari Wilayah Negara Republik Indonesia ke Luar Wilayah Negara Republik Indonesia. Pengawasan dijalankan melalui Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM).

“Sesuai dengan Permen KP No. 19 Tahun 2012, benih sidat yang berukuran kecil dari 150 gram dilarang diekspor,” ungkap Kepala BKIPM Rina.

“Kita ingin mendorong pemanfaatan sidat yang bertanggung jawab. Kita pastikan kelestariannya, keberlanjutannya agar tidak punah,” tambah Rina.

Rina menerangkan, pelestarian sidat harus dimulai sejak fase awal kehidupannya, yaitu saat telurnya menetas menjadi larva. Kemudian dilanjutkan pada fase di mana larva berkembang menjadi elver, hingga fase terakhir di mana sidat tumbuh menjadi individu dewasa.

Dalam siklus hidupnya, setelah tumbuh dan berkembang dalam waktu yang panjang di perairan tawar, sidat dewasa atau yang dikenal sebagai yellow eel berkembang menjadi silver eel (matang gonad). Selanjutnya silver eel akan bermigrasi ke perairan laut dalam untuk memijah.
“Banyak fase yang harus dilalui sidat untuk berkembang. Jangan egois, menangkap benih sidat yang belum sempat berkembang sehingga mengancam kelestariannya. Padahal keuntungan yang diperoleh tak sebanding dengan apabila sidat dibiarkan dewasa,” pungkas Rina.

Sebagai informasi, setiap individu sidat betina dapat menghasilkan telur sekitar 7 juta hingga 13 juta butir. Bayangkan betapa banyak potensi yang dihambat berkembang jika dilakukan penangkapan pada benih dan calon induk sidat.

Sumber: https://kkp.go.id/bkipm/artikel/2846-004


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Prinsip Pengemasan Produk Berbahan Nabati dan Hewani

TAHAPAN PENGURUSAN BADAN HUKUM KELOMPOK PERIKANAN (TERDAFTAR DI KEMENKUMHAM)